Saat penulis hadir dalam rahim ibunya, pada mulanya tidak terduga dan tak dirasakan beliau. Setelah mengetahui kehamilannya, ibu penulis rutin memeriksakan kehamilannya di Rumah Sakit Bersalin (RSB) Xaverius di daerah Pasir Gintung, agar penulis tumbuh menjadi anak yang sehat begitu cerita beliau padanya. Setelah usia kehamilan 7 bulan beliau juga memeriksakan kehamilannya ke dokter kandungan, di daerah Pahoman. Memasuki minggu ke-36, menurut dokter kandungan, fisik bayi sudah siap untuk dilahirkan. Menurut perhitungan ilmu kedokteran, penulis diprediksi akan lahir tanggal 22 November 1995. Kira-kira tiga minggu sebelum perkiraan tanggal kelahiranku, nenek penulis dari pihak ibu sakit, sehingga ibu penulis harus sering bolak-balik ke rumah nenek penulis untuk membantu paman penulis untuk mengelola usaha toko kelontongan di daerah pasar tengah. Setiap pagi ibu penulis harus ke tempat paman dan pulang pada sore hari antara pukul 16.00 hingga 17.00. Beberapa hari ibu penulis membantu disana, mungkin hal ini yang mendorong penulis untuk lahir lebih cepat dari waktu yang telah ditentukan dokter. Sehari sebelum kelahiran, ibu penulis pulang dari toko paman lebih awal kira-kira pukul 15.00 karena harus memeriksakan kandungan ke dokter. Setelah pulang dari tempat praktek dokter, ibu penulis pulang kerumah. Pada waktu itu orangtua penulis tinggal bersama dirumah kakek dan nenek dari pihak ayah. Setelah makan malam, ternyata air ketuban mulai keluar pertanda akan ada kelahiran. Namun hal itu belum diketahui ibu penulis yang baru pertama kali mengalami pengalaman melahirkan. Ibu penulis memberitahukan hal tersebut pada nenek dari pihak ayah, dan nenek langsung menyuruh ayah ke RSB Xaverius. Ayah dan ibu penulis berangkat kira-kira pukul 20.00.
Masa Kelahiran
Ibu penulis tiba di RSB Xaverius ibu diterima disana oleh perawat jaga, lalu diperiksa oleh perawat dan dinyatakan air ketuban sudah pecah dan tidak oleh pulang lagi dan harus menunggu disana untuk menanti kelahiran sang bayi. Tanggal 07 November 1995 pukul 00.15, penulis lahir di dunia dengan berat 2, 6 kilogram dan panjang 47cm. Ternyata penulis lahir lebih cepat 15 hari dan orangtua penulis memberi nama Ignatius Juan Pradipta. Ignatius merupakan nama baptis, yang diambil dari nama santo pelindung (orang kudus), Santo Ignatius dari Loyola, sedangkan Juan berarti karunia Tuhan, dan Pradipta berarti penerangan. Jadi kedua orangtua penulis bersyukur atas karunia Tuhan yang telah menghadirkan penulis di kehidupan mereka dan berharap penulis dapat menjadi penerang di kehidupan mereka dan orang-orang disekeliling penulis. Sesaat penulis lahir, penulis tidak menangis melengking seperti layaknya bayi yang baru lahir, yang terdengar seperti suara serak-serak. Padahal sang perawat muda yang membantu persalinan sudah menepuk-nepuk bokong bayi. Sesaat sang perawat mulai tampak panik. Menurut ilmu kedokteran, sang bayi yang baru lahir haruslah menangis, barulah sang anak dinyatakan sehat. Kemudian datanglah seorang biarawati, yang rupanya pengawas dari sang perawat muda, pada malam hari itu. Saat itu sang perawat sudah menyiapkan tabung oksigen, maksudnya untuk memberi oksigen pada sang bayi. Sebelum alat yang dihubungkan ke tabung oksigen diletakkan ke hidung dan mulut sang bayi, si bayi sudah menangis. Walaupun suaranya tidaklah terlalu melengking. Ternyata jika bayi yang baru dilahirkan tidak menangis, ada kemungkinan si bayi dapat mengalami cacat otak. Puji Tuhan ibu panjatkan pada Tuhan yang Maha Kuasa, karena Tuhan melindungi penulis dari kerusakan otak. Selama 6 hari penulis dan ibu tinggal dan dirawat di rumah bersalin. Di hari ketiga setelah kelahiran penulis, badan si penulis agak berwarna kekuningan. Jadi sejak hari ketiga hingga hari kelima si bayi, yang kelak menulis otobiografi ini setiap pagi dijemur dari pukul 07.30-08.15. Dengan dijemur setiap pagi, penulis ini kulitnya tidak berwarna kekuningan lagi, dan dinyatakan sudah sehat, sehingga keesokan harinya diperbolehkan dibawa pulang ke rumah.
Masa Pertumbuhan
Tgl 12 November 1995, penulis dan ibunya pulang ke rumah. Keesokan pagi, kira-kira pukul 02.00an, menurut ibu, tubuh penulis membiru dan penulis tidak dapat menangis. Ayah dan ibu penulis tak ada pengalamanan dalam hal mengurus bayi, tapi untuk membangunkan kakek dan nenek, beliau berdua tidak tega. Karena sudah sepanjang hari kemarin kakek dan nenek sudah amat direpotkan dengan kepulangan penulis dan ibunya dari rumah bersalin. Ibu hanya dapat berdoa, mohon kesembuhan untuk penulis, sedangkan ayah meyuapi air hangat sedikit demi sedikiit. Puji Tuhan, ternyata dengan diberi air hangat itu, berangsur-angsur tubuh penulis , yang membiru menjadi normal kembali. Walaupun tidak menangis tapi penulis dapat tertidur dengan pulas. Hingga matahari bersinar, kira-kira pukul 07.00 penulis masih tertidur. Ibu memberitahukan kejadian tersebut pada kakek dan nenek, mereka terkejut tapi setelah melihatpenulis yang tertidur pulas, mereka lega. Dan menganjurkan agar ayah dan ibu menyediakan obat angin (mungkin sejenis jamu tolak angin), tapi berbentuk puyer (bubuk), yang merupakan obat tradisional China khusus untuk bayi.
Ibu mengurus penulis bersama ayah, dan terkadang dibantu oleh kakek dan nenek pada saat ibu sedang sibuk menyiapkan makanan untuk penulis. Di waktu senggang ibu membuat foto-foto perkembanganpenulis, menyusunnya dalam album foto dengan bentuk-bentuk yang menarik. Ibu juga membuat catatan perkembangan pertumbuhan, tingkah laku, hingga makanan yang dikonsumsi penulis. Dari catatan itu penulis dapat mengetahui.8 Januari 1996 penulis pertama kali tertawa, 15 Juli 1996 pertama kali merangkak, 31 Januari 1997 pertama kali berjalan, dstnya, hingga untuk pertama kalinya penulis diajak mengenal teman-teman dalam kelompok bermain (saat itu penulis berusia 22 bulan). Penulis saat itu dikenalkan pada kelompok bermain Among Putra Indonesia, yang saat itu berada di Enggal. Selain belajar di kelompok bermain itu, di rumah penulis juga diajarkan menulis, membaca, mewarnai, berhitung oleh ibunya. Di usia 22 bulan 19 hari, penulis sudah dapat menghapal angka 1-10. Setiap hari Minggu, penulis dan kedua orangtuanya pergi beribadah ke Gereja Katedral Tanjung Karang. Walaupun penulis belum mengerti, tetapipenulis menyukainya. Sebab setelah selesai ibadat di gereja, mereka bertiga mampir ke rumah nenek dari pihak ibu. Di sana penulis dimanjakan oleh nenek dan tante yang tinggal disana, dengan berbagai mainan dan bermacam makanan. Apalagi tanteku menyukai anak-anak. Tanggal 3 Mei penulis menerima sakramen baptis, saat itu diadakan di rumah seorang warga di kring Gotong Royong.
Saat usia 2 tahun, penulis sudah menjadi murid tetap di TB Among Putra Indonesia. Saat itu penulis juga sudah dapat menyanyikan 5 lagu anak-anak, beberapa huruf dari alfabet seperti A,B,O,S,D. Semua itu diajarkan ibu. Di usia 29 bulan, penulis sudah dapat menghafal seluruh alfabet a-z, berhitung 0-15, B.Indonesia dan B.Inggris (mungkin modal untuk ke RSBI/SBI), 15 nama-nama benda dan hewan.
Usia penulis 3 tahun ½, penulis mempunyai seorang adik perempuan. Saat itu berat tubuh penulis 23 kg, cukup montok untuk anak seumurannya. Dengan tubuh penulis yang besar bila berfoto dengan adik kecil penulis, penulis ibarat raksasa dan adik penulis seperti liliput.
Walau sudah mempunyai adik, ibu masih menyempatkan tetap untuk mengajari penulis membaca, menulis, berhitung (penjumlahan, pengurangan) bahkan teks Pancasila sudah dapat penulis hapal saat penulis berusia 3 tahun 7 bulan. Bila penulis tidak sekolah dan belajar di rumah, penulis senang bermain dengan adik, bahkan penulis bertanya pada ibu, kapan adik penulis menjadi besar sehingga dapat bermain bersama-sama.
Saat penulis berusia 3 tahun, penulis sekolah di TK Tunas Mekar Indonesia, di kelas KB, saat itu gedung sekolah TMI berada di Jl. P. Emir M. Noor, dekat dengan tempat tinggal kami. Kata ibu agar mudah mengantar penulis & menjemput penulis. Tetapi pada bulan Juli 1999 gedung sekolah penulis pindah ke Jl. Jendral Sudirman. Penulis senang sekolah di TMI, bahkan penulis punya teman baik, Putri Marissa namanya. Ia suka menasihati penulis, seperti layaknya seorang guru. Karena ia bercita-cita menjadi seorang guru bila besar nanti , sungguh cita-cita yang mulia.
Saat penulis berulang tahun ke 4, penulis peroleh sepeda roda 4 (2 roda besar dan 2 roda kecil, di sampingnya) penulis senang sekali. Sejak kecil penulis suka sekali dengan mobil,penulis banyak mendapat mobil-mobilan dari paman dan bibi penulis, bahkan penulis suka mengkoleksi gambar-gambar mobil yang sampai sekarang masih penulis simpan.
Di akhir tahun 1999,kami sekeluarga pergi ke Jakarta, untuk menghadiri resepsi pernikahan paman penulis, adik bungsu ibu. Hal ini mengesankan dan menyenangkan bagi penulis karena itulah pengalaman pertama penulis naik kapal laut. Saat itu juga penulis bertemu dengan sepupu-sepupu penulis, anak-anak paman dan tinggal di rumah paman, kakak ayah penulis, yang bermukim di Jakarta. Setelah resepsi kami masih tinggal beberapa hari di Jakarta, dan diajak berekreasi ke Dufan, senang sekali penulis saat itu. Di akhir bulan Januari tahun 2000, tante penulis, adik ayah, melangsungkan pernikahan di Jakarta,dan kami pun ke Jakarta lagi, ini merupakan pengalaman kedua penulis ke Jakarta. Ternyata pada tanggal 28 April 2000,penulis memperoleh juara hiburan saat mengenakan pakaian daerah.Saat itu penulis mengenakan pakaian adat daerah Palembang. Saat penulis berusia empat tahun enam bulan ,penulis diajari menggunakan kamera foto yang sederhana. Penulis saat itu merasa bangga dan merasa sudah besar.Saat itu penulis juga sudah dapat menghitung dengan cepat penjumlahan dan pengurangan.
Saat penulis berusia lima tahun tujuh bulan penulis didiagnosa dokter terserang penyakit gejala tipes.Tetapi sang adik juga mengalami penyakit yang sama.Sehingga penulis dan adiknya sama-sama dirawat di R.S.Advent selama lima hari,di kamar yang sama.Dan ayah dan ibu menjaga di rumah sakit setiap hari,ibu penulis bahkan tak pernah pulang ke rumah hingga penulis dan adik sembuh, hanya ayah yang harus bolak-balik ke rumah sakit.Setelah dinyatakan sehat oleh dokter penulis dan adiknya diperbolehkan menjalani masa pemulihan kesehatan di rumah.
Dua bulan kemudian,penulis dan adiknya kembali terserang penyakit gondongan.Tetapi setelah minum obat ramuan jamu rebusan tradisional Cina penulis dan adiknya berangsur-angsur sembuh. Dan dapat kembali ke sekolah.
Di TK TMI, penulis beberapa kali mengikuti lomba, berbusana daerah dalam rangka perayaan hari Kartini, tetapi penulis tidak memperoleh juara. Penulis sendiri tidak terlalu berkesan dalam hal ini, tetapi penulis jalani saja.
26 Juni 2001, penulis dan teman mengadakan acara perpisahan bersama teman-teman dan para guru. Acara ini dilaksanakan di Hotel Sahid. Karena kami telah lulus dari TK TMI.
Masa SD
Tanggal 16 Juli, penulis memasuki jenjang pendidikan SD. Penulis sekolah di SD Fransiskus 1 Pasir Gintung. Di kelas satu, penulis diajar oleh Ibu Monika. Ibu Monika selalu memuji kemampuan penulis, dalam hal membaca dan matematika, bahkan beliau terkadang mengetes beberapa soal matematika yang lebih sulit, dari soal-soal matematika untuk murid kelas 2, bahkan kelas 3 SD. Tetapi penulis dapat menjawab soal-soal itu dengan baik. Hal ini disampaikan Ibu Monika kepada Ibu penulis. Saat ibu datang ke sekolah untuk mengambil raport. Dari kelas 1-3, penulis selalu masuk peringkat 1. Di usia 6 tahun ½ , penulis mengikuti kursus Aritmatika.
Penulis juga pernah mengalami rasa takut yang amat sangat saat belum genap berusia tujuh tahun yaitu adanya peristiwa kebakaran yang terjadi persis di belakang rumahnya.Saat itu kira- kira pukul tiga pagi,ibu membangunkan penulis dari tidurnya yang nyenyak.Karena masih mengantuk ,dengan perasaan malas penulius membuka matanya.Terdengar suara ayah yang keras sehingga penulis agak tersentak dan tersadar,karena ayah berkata ada kebakaran di rumah belakang yang dindingnya menempel dengan tempat tinggal penulis.Dengan menggendong adik dan menuntun penulis ibu mengajak kami ke luar rumah.Karena penulis menangis ketakutan melihat kobaran api yang terlihat juga dari bagian belakang rumah penulis,maka ayah dan ibu membawa penulis dan adiknya beserta surat-surat penting dan beberapa potong pakaian,mengungsi ke rumah nenek ,yang berada di daerah Pasar Tengah.Ayah dan ibu kembali ke rumah dan menunggu sampai api padam agar kami dapat kembali ke rumah,untungnya saat itu sedang liburan sekolah.Sore hari penulis dan adiknya baru dijemput oleh kedua orang tuanya setelah api dinyatakan ayah telah benar-benar padam. Penulis bersyukur kepada Tuhan yang masih dilindungi tempat tinggalnya,sehingga masih dapat tinggal di rumahnya hingga sekarang.
Di usia 7 tahun, penulis sudah duduk di kelas 3 SD. Sejak di kelas 3, mulai ada pelajaran Bahasa Inggris. Sejak duduk di KB penulis sudah diajari ibunya beberapa kata benda, binatang dalam Bahasa Inggris, sehingga tidak terlalu asing dengan mata pelajaran ini.
Di kelas 3 penulis sudah menulis menggunakan pena, ternyata menulis dengan pena lebih sulit daripada menggunakan pensil. Sejak duduk di kelas 3 SD penulis sedah mulai menyukai makanan yang pedas hingga sekarang, di kelas 3 ini penulis mengikuti ekskul komputer. Di kelas 4 ada pelajaran meniup seruling, di kelas 4 ini penulis tidak melanjutkan lagi kursus aritmatika walaupun baru ditingkat 7.
12 Desember 2004 penulis diminta oleh Ibu Butet, ketua pengurus sekolah TMI, untuk memperkenalkan sekolah TMI dengan bermain angklung di Chandra Tanjung Karang, karena penulis adalah salah satu alumni TK TMI. 25 Juni 2005 penulis naik ke kelas 5. Di kelas 5, penulis mengalami gangguan pengelihatan dan sebelum ulang tahun ke-10 penulis sudah memakai kacamata minus 1. 18 Juni 2006, penulis menerima komuni pertama. Bulan Juli 2006 penulis sudah duduk dikelas 6.
Agustus 2006 penulis dianjurkan oleh pamannya untuk dikursuskan organ dan penulis didaftarkan ke tetangga yang merupakan organis di gereja katedral, penulis kursus kepada beliau kira-kira satu tahun.
5 September 2006, penulis mulai melaksanakan tugas pertamanya sebagai putra altar di gereja, sebagai misdinar di gereja katerdral tanjung karang, dimana tugas pertama dari misdinar baru menjalankan tugas pada misa harian yang dimulai pukul 06:00 sampai 06:50. Sehingga setelah bertugas, penulis harus bergegas berjalan kaki ke sekolah.
6 November 2006, penulis mengikuti LMP di bidang Sains dan 20 November, penulis dinyatakan sebagai pemenang juara pertama lomba tersebut dan mendapat piagam dan hadiah uang. 10 Februari 2007, penulis mulai kursus berenang dan les biola.
Menjelang kelulusan SD penulis juga pernah terserang penyakit demam berdarah. Saat itu di sekolah penulis akan dilaksanakan ujian Praktek. Penulis bersikeras untuk ikut ujian, sehari setelah kembali dari rumeh sakit, dimana selama empat hari penulis telah dirawat. Sesampai di sekolah guru dan kepala sekolah menganjurkan agar mengikuti ujian praktek susulan dan kepala sekolah menyuruh beristirahat sambil meyiapkan diri untuk ujian tertulis yang akan datang. Akhirnya setelah mengikuti ujian tertulis, penullis mengikuti ujian praktek susulan di sekolah dan tanggal 25 Mei 2007 penulis dinyatakan lulus dari SD Fransiskus I.
25 Mei 2007, penulis dinyatakan lulus SD dengan nilai rata-rata STTB 71,87 dan mendapat peringkat ke-7 dari seluruh siswa yang lulus tahun 2007 di SD Fransiskus 1, kira-kira 150-an siswa yang lulus tahun itu dan selanjutnya penulis harus berpisah dengan teman-temannya.
Masa SMP
Setelah lulus dari SD, ayah mengarahkan ke SMP Xaverius Teluk atau SMP Xaverius Pahoman, tak terpikir oleh penulis dan orangtuanya untuk menimba ilmu di SMP Negeri 2, jadi kedua sekolah swasta tersebut, penulis telah mengikuti tes masuk dan lulus tes di kedua sekolah tersebut. Ketika penulis pulang dari SMP Xaverius Pahoman, ia melihat bahwa pendaftaran di SMPN 2 Bandar Lampung masih dibuka dan mncoba untuk mendaftar. Maka penulis berhenti sebentar di SMPN 2 untuk mengambil folmulir pendaftaran yang ternyata tidak dipungut biaya, penulis tertari untuk mendaftar karena melihat spanduk yang mengatakan bahwa dalam belajar di SMPN 2 menggunakan bahasa Inggris. Karena mengetahui ada tes kemampuan menggunakan komputer, maka penulis diberi les kilat oleh teman ayahnya agar bisa lolos tes tersebut. Setelah melalui beberapa tes yang berupa soal, kemampuan berbahasa Inggris, dan hingga kemampuan menggunakan komputer, akhirnya penulis berhasil lolos untuk menjadi siswa SMPN 2. Setelah memasuki lingkungan SMP Negeri 2, penulis merasa kurang kerasan karena tidak memiliki banyak teman di sekolah yang baru ini. Seperti biasa selayaknya siswa baru diadakanlah Masa Orientasi Sekolah yang dilaksanakan 2 minggu sebelum proses belajar mengajar dimulai. Saat MOS ini kami diajari bekerja sama, menjadi lebih akrab dengan teman baru, dan beberapa materi seperti materi tentang wawasan wiyata mandala. Pada hari terakhir MOS, diadakan demo-demo ekskul yang ada di SMPN 2, banyak sekali ekskul yang ada namun seluruh murid baru diwajibkan untuk mengikuti ekskul pramuka. Pada hari pertama belajar, kami berkenalan dengan teman-teman sekelas. Banyak sekali perbedaan yang penulis rasakan di SD dan di SMP. Di SD penulis mendapatkan banyak teman namun di SMP sepertinya terasa sulit untuk mencari teman yang benar-benar baik dan cocok dengan penulis, oleh karena itu tidak banyak yang menjadi teman akrab penulis selama di SMP. Selain itu perbedaan kemampuan antara teman-teman di SD dan SMP menyebabkan persaingan sangat ketat dan di SMP ini penulis mengalami banyak penurunan nilai-nilai akibat semangat belajar penulis yang menurun. Ada satu hal lagi yang sangat berbeda di SD dan SMP yaitu fasilitas yang tersedia di kelas. Di SD kelas hanya merupakan kelas yang biasa-biasa saja tanpa AC, TV, LCD, dan karpet yang menyelimuti seluruh permukaan lantai kelas. Apabila dibandingkan dengan saat di SD, prestasi penulis juga menurun drastis, akibat semangat penulis untuk belajar menurun akibat sulitnya pelajaran yang menggunakan Bahasa Inggris dan persaingan yang semakin ketat dikelas penulis yang memiliki murid-murid yang sangat pintar. Tidak banyak yang penulis bisa ceritakan di masa SMP ini sebab tidak banyak saat-saat yang mengesankan di SMP selain pada saat kegiatan outbond yang diadakan di akhir semester ke-5. Kegiatan outbond ini meliputi kunjungan-kunjungan ke lokasi seperti pusat pelatihan TNI di tangerang, studi banding ke SMP 115, lokasi pengembangan tanaman hidroponik dan aeroponik, dan yang terakhir adalah Dunia Fantasi. Pada semester ke-2 di kelas 9 penulis harus lebih giat belajar untuk menghadapi ujian nasional. Di sekolah penulis diadakan pelajaran tambahan setelah pulang sekolah sehingga jam pelajaran ditambah 3 mata pelajaran. Namun hal ini sebanding dengan nilai akhir yang diperoleh penulis sebagaimana tertera di ijazah dan STTB yaitu dengan rata-rata 9,58.
Masa SMA
Perjalanan untuk menimba ilmu tidak hanya berhenti di jenjang SMP, pada bulan Mei 2010 seluruh siswa di SMP Negeri 2 Bandarlampung sibuk mempersiapkan berkas-berkas yang dibutuhkan dalam lampiran formulir pendaftaran SMA. Hampir seluruh siswa di sekolah penulis mengharapkan untuk masuk SMAN 2 dan hal inilah yang menyebabkan siswa-siswa yang diterima di SMAN 2 sebagian besar adalah murid dari SMPN 2. Banyak lampiran yang disertakan oleh teman-teman penulis kebanyakan merupakan piagam atas lomba yang telah diikuti. Penulis sendiri tidak memiliki piagam yang dapat diikut-sertakan dalam formulir pendaftaran tersebut. Seminggu kemudian setelah tanggal pengumpulan, penulis merasa sangat bersyukur karena telah berhasil lolos test formulir tersebut. Setelah ulangan akhir sekolah selesai penulis dan teman-teman kembali mengikuti tes akademik di SMAN 2 Bandarlampung. Selang satu atau dua hari kembali diadakan tes kemampuan bahasa inggris yang menurut penulis tidak terlalu sulit. Syukur kepada Tuhan YME atas kehendaknya penulis dapat diterima di SMAN 2 Bandarlampung. Sebagaimana biasanya murid baru, MOS kembali diadakan. Namun perbedaan antara SMP dan SMA kembali terjadi. Beberapa hal di SMA ini membuat penulis menjadi lebih mudah mendapatkan teman daripada di SMP, juga MOS kali ini lebih menyenangkan daripada MOS di SMP. Setelah 6 hari mengikuti kegiatan Pra-MOS dan MOS, acara yang ditutup di Lembah Hijau ini cukup melelahkan fisik dan pikiran penulis. 4 Hari kemudian kami diliburkan dan kembali masuk ke sekolah pada hari senin pertama kami disekolah untuk berkenalan dengan guru-guru baru dan dengan pelajaran yang lebih sulit pula. Kelas penulis tergolong cukup lumayan karena masih dalam urutan ke-3, yaitu X RSBI 3. Murid-murid di kelas X-3 lumayan kompak, namun ada saja yang merusaknya dan membentuk “geng-geng” yang agak memisahkan diri. Terkadang penulis agak iri dengan kekompakan kelas lain, namun tetap menerima kelas X-3 apa adanya karena tak ada yang sempurna. Prestasi penulis di kelas X-3 ini tergolong lumayan namun masih ada juga yang benar-benar penulis tidak bisa yaitu Bahasa Jepang. Namun penulis akan terus berusaha untuk mempelajarinya.
Foto-foto penulis
0 comments:
Post a Comment